Ketika Geopolitik Mengguncang Aset Digital: Bagaimana Perang Iran-Israel Menggeser Dinamika Kripto Global?
Untuk menjawabnya secara objektif, artikel ini menggabungkan analisis data terbaru, komentar pakar industri, dan tren aktual pasar global dan Indonesia, termasuk wawancara langsung dengan pelaku pasar kripto lokal.
![]() |
Kripto |
Dampak Langsung Terhadap Volume Perdagangan di Indonesia
Di tengah melonjaknya ketegangan antara Iran dan Israel,
platform perdagangan kripto lokal Tokocrypto mencatat penurunan volume
perdagangan sebesar 3% hingga 5% dalam waktu seminggu pasca-serangan. Hal ini
disampaikan oleh Chief Marketing Officer Tokocrypto, Luthfi Andri Wibowo, dalam
wawancara eksklusif bersama Kriptokarensi.com.
"Perang geopolitik menyebabkan investor ritel menahan
diri, namun justru memicu aktivitas dari investor institusi. Kami melihat
lonjakan pengguna baru sebesar 20% dalam kurun waktu yang sama," ungkap
Luthfi.
Data ini memperlihatkan bahwa meskipun ada ketakutan jangka
pendek, gejolak geopolitik juga membuka peluang bagi investor baru yang melihat
kripto sebagai alternatif pelindung nilai saat pasar tradisional tidak menentu.
Bitcoin di Tengah Ketidakpastian: Pelindung Nilai atau
Aset Spekulatif?
Salah satu narasi yang berkembang kuat di kalangan investor
global adalah bahwa Bitcoin (BTC) semakin menyerupai emas digital. Dalam
laporan yang dirilis oleh QCP Capital, sebuah perusahaan perdagangan aset
digital berbasis di Singapura, disebutkan bahwa konflik yang meningkat antara
negara-negara Timur Tengah telah menciptakan “mode pertahanan aset”, di
mana para investor mengalihkan sebagian besar dana dari saham teknologi ke
Bitcoin dan emas.
Namun, perlu dicermati bahwa korelasi Bitcoin terhadap pasar
saham tidak sepenuhnya konsisten. Menurut data dari TradingView, korelasi BTC
terhadap indeks Nasdaq dalam dua minggu terakhir menunjukkan angka sebesar
+0,61, namun melonjaknya ketegangan justru mengubah arah korelasi menjadi lebih
negatif (‑0,07) pada saat pernyataan intervensi militer oleh Amerika mulai
mencuat.
"Ini menandakan bahwa Bitcoin bisa bergerak independen dari pasar ekuitas saat sentimen global benar-benar berubah ke mode defensif," jelas Indra Prasetyo, analis kripto independen dan founder komunitas CryptoIDN.
![]() |
Kripto |
Korelasi Perang dengan Pergerakan Harga: Apa Kata Data?
Situs prediksi terdesentralisasi Polymarket mencatat bahwa
probabilitas keterlibatan Amerika Serikat secara langsung dalam perang
Iran-Israel melonjak hingga 90% pada 15 April lalu. Dalam kurun waktu yang
sama, harga Bitcoin menunjukkan koreksi cepat dari $72.000 ke $66.800 —
penurunan lebih dari 7% hanya dalam 72 jam.
Namun menariknya, permintaan terhadap stablecoin seperti
USDT dan USDC justru meningkat di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Ini mengindikasikan bahwa meski investor mungkin menghindari risiko harga
fluktuatif dari aset seperti BTC dan ETH, mereka tetap ingin menjaga eksposur
terhadap dolar AS — simbol kestabilan di tengah krisis.
Bagaimana Altcoin Bereaksi?
Tidak semua aset kripto bereaksi sama. Altcoin dengan
korelasi tinggi terhadap sentimen makro — seperti Ethereum (ETH), Solana (SOL),
dan Avalanche (AVAX) — justru mengalami tekanan yang lebih besar.
"Ethereum cenderung lebih volatil dibanding Bitcoin
karena lebih bergantung pada perkembangan sektor DeFi dan NFT yang lebih
spekulatif," jelas Wahyu Saputra, Kepala Riset di Bittime Indonesia.
"Dalam kondisi krisis seperti perang Iran-Israel, investor lebih condong
ke aset yang memiliki narasi pelindung nilai, bukan ekosistem."
Reaksi Pelaku Pasar Global
Di tingkat internasional, laporan dari platform derivatif
Deribit menunjukkan peningkatan drastis dalam open interest (kontrak berjangka
terbuka) untuk opsi ‘put’ Bitcoin — tanda investor global bersiap menghadapi
kemungkinan koreksi pasar. Volume tertinggi tercatat di level strike price
$60.000, menandakan ekspektasi koreksi lanjutan bila konflik semakin meluas.
Hal ini diamini juga oleh analis di CoinShares yang
memperkirakan bahwa “volatilitas jangka pendek Bitcoin akan tetap tinggi sampai
ada kepastian arah dari konflik Timur Tengah, atau keputusan kebijakan moneter
AS berikutnya.”
Apakah Ini Peluang atau Ancaman?
Muncul pertanyaan menarik di kalangan investor ritel
Indonesia: apakah ini waktu untuk masuk ke pasar, atau menunggu sampai perang
reda?
Menurut data internal Kriptokarensi.com, terjadi lonjakan
pencarian kata kunci “beli Bitcoin saat perang” dan “perang Iran Israel ke
crypto” hingga 300% dalam 10 hari terakhir. Ini menunjukkan adanya peningkatan
rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami dampak konflik terhadap aset
digital.
Tautan referensi: perang iran israel ke crypto
Wahyu Saputra dari Bittime menambahkan, "Investor perlu memahami bahwa risiko geopolitik adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi pemicu panic selling, tapi juga menjadi pemantik adopsi lebih luas terhadap kripto sebagai instrumen lindung nilai."
![]() |
Kripto |
Strategi Bertahan: Lindung Nilai, Diversifikasi, dan
Edukasi
Dalam menghadapi ketidakpastian yang disebabkan oleh perang
Iran-Israel, investor ritel disarankan untuk memperhatikan tiga hal:
- Hindari
Overexposure: Jangan menaruh seluruh portofolio di aset dengan
volatilitas tinggi seperti altcoin kecil.
- Gunakan
Stablecoin Secara Strategis: Untuk menjaga likuiditas tanpa harus
menarik dana ke rekening bank.
- Perkuat
Edukasi & Informasi: Gunakan sumber terpercaya dan bukan hanya
mengikuti tren di media sosial.
Apa yang Bisa Kita Ambil?
Krisis di Timur Tengah kembali menegaskan satu hal penting:
aset digital seperti kripto kini bukan lagi sekadar instrumen spekulasi,
melainkan bagian dari arsitektur keuangan global. Saat dunia terguncang oleh
konflik geopolitik, pasar kripto menawarkan dua wajah: sumber risiko dan
peluang lindung nilai.
Menavigasi pasar dalam situasi seperti ini memerlukan
pemahaman menyeluruh, bukan hanya terhadap teknologi blockchain, tetapi juga
konteks makroekonomi dan geopolitik. Dan di tengah perubahan global yang cepat
ini, satu hal tetap berlaku: informasi yang kredibel dan analisis yang dalam
akan selalu menjadi aset paling berharga.