Efek Perang Iran-Israel ke Crypto: Ancaman Geopolitik dan Peluang Bagi Investor
“Setiap ketidakpastian geopolitik akan mengubah cara investor melihat aset berisiko tinggi seperti kripto,” ujar Reza Hidayat, Chief Market Analyst di Digital Asset Indonesia (DAI). “Namun menariknya, crypto juga bisa menjadi tempat lindung nilai jika perang ini menyebabkan pelemahan mata uang fiat seperti dolar.”
![]() |
Kripto |
Aset Crypto sebagai Safe Haven Baru?
Dalam konflik geopolitik klasik, investor cenderung
melarikan dana ke emas, dolar AS, atau obligasi pemerintah. Namun, kini muncul
dinamika baru: sebagian investor mulai melihat aset digital seperti Bitcoin
sebagai ‘emas digital’.
Berdasarkan laporan dari firma riset kripto Glassnode, saat
serangan balasan antara Iran dan Israel meningkat pada awal April 2025, volume
transaksi Bitcoin naik 27% secara global. Lonjakan ini dipicu oleh ketakutan
investor terhadap risiko devaluasi mata uang akibat potensi sanksi ekonomi dan
ketegangan perdagangan di kawasan Teluk.
Di Indonesia sendiri, Tokocrypto mencatat lonjakan pengguna
baru hingga 12% dalam minggu pertama pascakonflik. Sebagian besar didorong oleh
kelompok usia 25–34 tahun yang mulai membeli Bitcoin dan Ethereum sebagai “aset
pelindung” di tengah ketidakpastian.
Sumber Terpercaya: Analis dan Praktisi
Menurut Iqbal Maulana, Head of Research di Bursa
Kripto Nusantara (BKN), volatilitas tinggi justru membuka peluang jangka
pendek.
“Konflik Iran-Israel memang menekan harga crypto di awal,
tapi kemudian banyak pelaku pasar melihat peluang akumulasi. Investor institusi
memanfaatkan ‘fear’ di pasar untuk membeli aset crypto besar seperti BTC dan
ETH di harga diskon.”
Iqbal juga mencatat bahwa stablecoin seperti USDT dan USDC mengalami arus masuk besar dalam waktu singkat. Artinya, investor mulai memindahkan dana dari aset tradisional ke ekosistem blockchain demi fleksibilitas likuiditas yang lebih tinggi.
![]() |
Kripto |
Dampak Langsung dan Tidak Langsung pada Pasar Kripto
Efek perang Iran-Israel ke crypto tidak hanya sebatas
fluktuasi harga. Ada beberapa dampak teknikal dan psikologis lain yang perlu
diperhatikan:
- Likuiditas
Pasar Menurun Sementara: Volume perdagangan sempat mengalami penurunan
harian sebesar 14% di beberapa bursa kripto Asia, karena pelaku pasar
mengambil sikap wait-and-see.
- Kekhawatiran
Akses Energi: Jika konflik meluas ke Selat Hormuz, suplai minyak
global bisa terganggu. Hal ini berdampak pada biaya operasional
penambangan (mining) kripto yang mengandalkan energi besar, terutama di
wilayah Eropa Timur dan Asia Tengah.
- Sentimen
Negatif pada Altcoin Kecil: Investor cenderung menjauhi altcoin
berkapitalisasi kecil dan memusatkan perhatian pada aset utama seperti BTC
dan ETH.
Tail-Risk: Bagaimana Jika Amerika Serikat Ikut Campur?
Skenario eskalasi yang paling ditakuti adalah keterlibatan
militer langsung Amerika Serikat. Jika ini terjadi, maka dua dampak besar bisa
terjadi:
- Dolar
AS bisa mengalami pelemahan akibat tekanan inflasi dan pembiayaan perang.
- Bitcoin
kemungkinan besar akan melonjak karena dipandang sebagai aset “tanpa
negara”, mirip dengan emas.
Menurut laporan dari QCP Capital yang dikutip oleh
Investing.com, jika konflik meluas dan mendorong inflasi global, maka BTC bisa
menyentuh angka $85.000 pada Q3 2025 karena peningkatan permintaan global akan
aset lindung nilai berbasis blockchain.
Tindakan dan Strategi Investor
Apa yang bisa dilakukan investor ritel menghadapi situasi
ini? Berikut panduan dari Dr. Anindya Prasetya, dosen ekonomi digital di
Universitas Padjadjaran dan konsultan pasar derivatif:
- Diversifikasi
Portofolio: Jangan hanya pegang crypto, padukan dengan emas, reksa
dana pendapatan tetap, dan dolar.
- Hindari
Altcoin Berisiko Tinggi: Fokus pada aset yang punya fundamental kuat
dan likuiditas tinggi.
- Gunakan
Stablecoin untuk menyimpan dana cadangan, karena mudah dikonversi saat
peluang datang.
- Pantau Berita Geopolitik Harian, terutama dari Timur Tengah dan keputusan The Fed soal suku bunga.
Prediksi Jangka Menengah
Meski volatilitas akan tetap tinggi, sejumlah analis
memprediksi sektor kripto justru akan makin menarik dalam 3–6 bulan ke depan.
Hal ini karena:
- Adopsi
ritel meningkat di tengah krisis.
- Platform
blockchain makin banyak digunakan untuk transaksi lintas negara saat
sistem perbankan terganggu.
- Penambahan
fitur layer-2 membuat transaksi lebih cepat dan murah.
Perusahaan seperti Coinbase dan Binance bahkan sudah
menyiapkan roadmap untuk memperluas operasional ke wilayah Timur Tengah dan
Asia Tenggara, untuk mengantisipasi perubahan arah modal global akibat konflik
ini.
Relevansi Regional: Indonesia dan Kawasan Asia Tenggara
Di tingkat domestik, Bappebti telah mengeluarkan
imbauan kepada pelaku pasar untuk memperhatikan pergerakan aset global dan
tidak bersikap spekulatif berlebihan. Sementara itu, Indodax dan Pintu
mencatat peningkatan volume harian yang stabil sepanjang konflik berlangsung.
Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo),
William Sutanto, mengatakan:
“Indonesia bisa menjadi hub baru bagi perdagangan kripto
regional karena punya stabilitas makro yang relatif kuat, dibanding Timur
Tengah yang sedang konflik atau Eropa yang inflasi tinggi.”
Arah Regulasi Global
Perang juga mempercepat urgensi regulasi kripto. Uni Eropa
dan AS mulai mempercepat rancangan undang-undang tentang stablecoin dan
anti-pencucian uang, karena konflik seperti ini membuka celah penyalahgunaan
aset digital oleh entitas negara.
Hal ini bisa berdampak langsung pada investor ritel, baik
dari sisi perpajakan maupun transparansi data transaksi.
Efek
Perang Iran Israel ke Crypto
Situasi perang Iran-Israel ke crypto bukan hanya
tentang harga, tetapi juga bagaimana dunia memandang kembali fungsi aset
digital dalam sistem keuangan global. Ketika sistem konvensional goyah karena
geopolitik, aset digital mulai menunjukkan peran strategis yang belum pernah
dilihat sebelumnya.