ZMedia Purwodadi

Dampak Geopolitik Perang Iran-Israel ke Pasar Kripto: Dari Blokade Global hingga Volume Lokal

Daftar Isi
Kriptokarensi.com - Konflik geopolitik antara Iran dan Israel kembali memanas sejak April lalu, memicu kekhawatiran pasar global termasuk industri aset digital seperti kripto. Ketika rudal dan drone melintasi perbatasan, reaksi pasar kripto sering kali tidak hanya volatil, tapi juga tidak selalu rasional. Banyak yang bertanya: sejauh mana perang ini benar-benar memengaruhi harga dan volume kripto, baik secara global maupun di Indonesia?

Untuk menjawabnya, kita perlu memahami konteks global dan lokal secara bersamaan. Di pasar global, Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH) memang kerap dianggap sebagai alternatif safe haven saat ketegangan geopolitik meningkat. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa korelasi antara Bitcoin dan saham teknologi (seperti Nasdaq) masih tinggi—mengindikasikan bahwa Bitcoin belum sepenuhnya menjadi aset pelindung nilai.

Sementara itu di pasar Indonesia, exchange lokal seperti Tokocrypto, Pintu, dan Indodax menunjukkan fluktuasi pengguna dan volume perdagangan yang menarik saat konflik berlangsung. Mari kita uraikan dampak-dampak tersebut dalam konteks yang lebih luas.

Kripto


Ketegangan Global: Peran Bitcoin dalam Lanskap Ketidakpastian

Setiap kali konflik bersenjata terjadi, terutama di wilayah yang berkaitan dengan pasokan energi seperti Timur Tengah, pasar keuangan cenderung bereaksi dengan ketakutan. Lonjakan harga minyak, fluktuasi indeks saham, dan kekhawatiran inflasi adalah hal yang umum.

Dalam kasus perang Iran-Israel, beberapa analis memproyeksikan bahwa jika AS sampai ikut terlibat—misalnya dengan menempatkan kapal induk atau melakukan intervensi langsung—maka potensi blokade di Selat Hormuz akan mendorong lonjakan harga minyak dunia hingga 30%. Kenaikan ini bisa mendorong inflasi global, memengaruhi kebijakan suku bunga The Fed.

Nah, bagaimana reaksi pasar kripto terhadap skenario ini?

Data dari Polymarket menunjukkan bahwa probabilitas AS ikut campur dalam konflik naik dari 24% menjadi 65% hanya dalam dua minggu. Di saat yang sama, Bitcoin melonjak dari $58.000 ke $65.000, namun hanya bertahan sebentar sebelum kembali tertekan. Korelasi Bitcoin dengan Nasdaq mencapai +0,61, menurut laporan dari QCP Capital, mengindikasikan bahwa aset kripto masih dipengaruhi sentimen pasar modal, bukan semata-mata sebagai pelindung nilai (store of value).

Jadi, meskipun kripto sering disebut sebagai “emas digital”, kenyataannya ia masih bersifat spekulatif dan sangat reaktif terhadap makroekonomi dan kebijakan bank sentral.


Dampak Langsung ke Investor Lokal: Turun Volume, Naik Pengguna Baru

Bagaimana dengan pasar Indonesia? Di sinilah kita melihat dinamika menarik. Exchange seperti Tokocrypto melaporkan bahwa volume perdagangan kripto turun 3–5% dalam sepekan saat konflik memuncak di bulan April. Hal ini terjadi karena banyak trader memilih wait-and-see, sambil menunggu arah pasar yang lebih jelas.

Namun, yang menarik, jumlah pengguna baru justru naik sekitar 20% di periode yang sama. Menurut perwakilan Tokocrypto, konflik ini menimbulkan rasa ingin tahu baru, terutama di kalangan milenial dan Gen Z yang mulai tertarik pada kripto sebagai opsi alternatif investasi di tengah ketidakpastian global.

Fenomena ini menunjukkan bahwa investor ritel Indonesia mulai menunjukkan awareness terhadap isu geopolitik dan dampaknya ke aset digital. Meski belum semua dari mereka memahami kompleksitas pasar global, minat dan ekspektasi akan imbal hasil tinggi mendorong mereka masuk ke pasar kripto, meskipun volatilitas tinggi.

Kripto

Apa Kata Regulator dan Institusi?

Bank Indonesia dan OJK belum memberikan pernyataan langsung terkait efek konflik Iran-Israel ke pasar kripto domestik. Namun, analis dari sejumlah sekuritas mengungkapkan bahwa kripto tetap masuk kategori spekulatif, dan investor dihimbau untuk berhati-hati dalam mengambil posisi saat kondisi global tidak menentu.

Sementara itu, pelaku institusional seperti PT Pintu Kemana Saja (PINTU) menyarankan strategi akumulasi bertahap (dollar-cost averaging/DCA) saat harga bergerak liar. Strategi ini dianggap cocok untuk investor ritel yang ingin masuk secara bertahap dan menghindari risiko beli di harga puncak.

Dari sisi regulator global, SEC di AS juga masih terus menunda ETF Ethereum spot, yang menambah ketidakpastian di tengah tensi geopolitik.


Narasi Media dan Sentimen Sosial

Secara naratif, media sosial dan kanal berita crypto internasional membingkai konflik ini dengan headline “Bitcoin sebagai safe haven”. Namun, ini perlu dicermati secara kritis. Ketika konflik Rusia-Ukraina terjadi awal 2022, narasi serupa muncul—namun BTC justru jatuh karena pasar global panik dan memilih likuidasi.

Dalam kasus perang Iran Israel ke crypto, sebaiknya narasi serupa dilihat dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Sentimen pasar sangat cepat berubah, dan konflik militer tidak selalu berdampak linier terhadap harga kripto. Bahkan, dalam jangka pendek, konflik sering kali menyebabkan penurunan karena investor mengambil sikap risk-off.

Kripto

Kesimpulan Tengah: Perlu Pendekatan Strategis, Bukan Emosional

Investor ritel, khususnya di Indonesia, perlu memahami bahwa konflik geopolitik seperti ini bisa berdampak ganda: volatilitas harga yang ekstrem serta peluang jangka panjang yang tersembunyi. Sebagai aset yang masih muda, kripto memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu global, tapi juga menyimpan potensi besar jika digunakan dengan strategi yang benar.

Langkah paling realistis adalah memperlakukan perang ini sebagai momen untuk edukasi, bukan hanya spekulasi. Investor perlu memperdalam wawasan tentang bagaimana hubungan geopolitik, kebijakan bank sentral, dan sentimen global bekerja secara simultan dalam membentuk harga aset digital.

Lebih penting lagi, investor perlu paham bahwa kripto bukan hanya soal harga naik-turun, tapi juga tentang paradigma baru sistem keuangan—yang tetap akan terus berkembang, konflik atau tidak.