Dampak Geopolitik Perang Iran-Israel ke Pasar Kripto: Dari Blokade Global hingga Volume Lokal
Untuk menjawabnya, kita perlu memahami konteks global dan
lokal secara bersamaan. Di pasar global, Bitcoin (BTC) dan Ethereum
(ETH) memang kerap dianggap sebagai alternatif safe haven saat ketegangan
geopolitik meningkat. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa korelasi antara
Bitcoin dan saham teknologi (seperti Nasdaq) masih tinggi—mengindikasikan bahwa
Bitcoin belum sepenuhnya menjadi aset pelindung nilai.
Sementara itu di pasar Indonesia, exchange lokal seperti Tokocrypto, Pintu, dan Indodax menunjukkan fluktuasi pengguna dan volume perdagangan yang menarik saat konflik berlangsung. Mari kita uraikan dampak-dampak tersebut dalam konteks yang lebih luas.
![]() |
Kripto |
Ketegangan Global: Peran Bitcoin dalam Lanskap
Ketidakpastian
Setiap kali konflik bersenjata terjadi, terutama di wilayah
yang berkaitan dengan pasokan energi seperti Timur Tengah, pasar keuangan
cenderung bereaksi dengan ketakutan. Lonjakan harga minyak, fluktuasi indeks
saham, dan kekhawatiran inflasi adalah hal yang umum.
Dalam kasus perang Iran-Israel, beberapa analis
memproyeksikan bahwa jika AS sampai ikut terlibat—misalnya dengan menempatkan
kapal induk atau melakukan intervensi langsung—maka potensi blokade di Selat
Hormuz akan mendorong lonjakan harga minyak dunia hingga 30%. Kenaikan ini bisa
mendorong inflasi global, memengaruhi kebijakan suku bunga The Fed.
Nah, bagaimana reaksi pasar kripto terhadap skenario ini?
Data dari Polymarket menunjukkan bahwa probabilitas AS ikut
campur dalam konflik naik dari 24% menjadi 65% hanya dalam dua minggu. Di saat
yang sama, Bitcoin melonjak dari $58.000 ke $65.000, namun hanya bertahan
sebentar sebelum kembali tertekan. Korelasi Bitcoin dengan Nasdaq mencapai
+0,61, menurut laporan dari QCP Capital, mengindikasikan bahwa aset kripto
masih dipengaruhi sentimen pasar modal, bukan semata-mata sebagai pelindung
nilai (store of value).
Jadi, meskipun kripto sering disebut sebagai “emas digital”,
kenyataannya ia masih bersifat spekulatif dan sangat reaktif terhadap
makroekonomi dan kebijakan bank sentral.
Dampak Langsung ke Investor Lokal: Turun Volume, Naik
Pengguna Baru
Bagaimana dengan pasar Indonesia? Di sinilah kita melihat
dinamika menarik. Exchange seperti Tokocrypto melaporkan bahwa volume
perdagangan kripto turun 3–5% dalam sepekan saat konflik memuncak di bulan
April. Hal ini terjadi karena banyak trader memilih wait-and-see, sambil
menunggu arah pasar yang lebih jelas.
Namun, yang menarik, jumlah pengguna baru justru naik
sekitar 20% di periode yang sama. Menurut perwakilan Tokocrypto, konflik
ini menimbulkan rasa ingin tahu baru, terutama di kalangan milenial dan Gen Z
yang mulai tertarik pada kripto sebagai opsi alternatif investasi di tengah
ketidakpastian global.
Fenomena ini menunjukkan bahwa investor ritel Indonesia mulai menunjukkan awareness terhadap isu geopolitik dan dampaknya ke aset digital. Meski belum semua dari mereka memahami kompleksitas pasar global, minat dan ekspektasi akan imbal hasil tinggi mendorong mereka masuk ke pasar kripto, meskipun volatilitas tinggi.
![]() |
Kripto |
Apa Kata Regulator dan Institusi?
Bank Indonesia dan OJK belum memberikan pernyataan langsung
terkait efek konflik Iran-Israel ke pasar kripto domestik. Namun, analis dari
sejumlah sekuritas mengungkapkan bahwa kripto tetap masuk kategori spekulatif,
dan investor dihimbau untuk berhati-hati dalam mengambil posisi saat kondisi
global tidak menentu.
Sementara itu, pelaku institusional seperti PT Pintu Kemana
Saja (PINTU) menyarankan strategi akumulasi bertahap (dollar-cost
averaging/DCA) saat harga bergerak liar. Strategi ini dianggap cocok untuk
investor ritel yang ingin masuk secara bertahap dan menghindari risiko beli di
harga puncak.
Dari sisi regulator global, SEC di AS juga masih terus
menunda ETF Ethereum spot, yang menambah ketidakpastian di tengah tensi
geopolitik.
Narasi Media dan Sentimen Sosial
Secara naratif, media sosial dan kanal berita crypto
internasional membingkai konflik ini dengan headline “Bitcoin sebagai safe
haven”. Namun, ini perlu dicermati secara kritis. Ketika konflik Rusia-Ukraina
terjadi awal 2022, narasi serupa muncul—namun BTC justru jatuh karena pasar
global panik dan memilih likuidasi.
Dalam kasus perang Iran Israel ke crypto, sebaiknya narasi serupa dilihat dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Sentimen pasar sangat cepat berubah, dan konflik militer tidak selalu berdampak linier terhadap harga kripto. Bahkan, dalam jangka pendek, konflik sering kali menyebabkan penurunan karena investor mengambil sikap risk-off.
![]() |
Kripto |
Kesimpulan Tengah: Perlu Pendekatan Strategis, Bukan
Emosional
Investor ritel, khususnya di Indonesia, perlu memahami bahwa
konflik geopolitik seperti ini bisa berdampak ganda: volatilitas harga yang
ekstrem serta peluang jangka panjang yang tersembunyi. Sebagai aset yang masih
muda, kripto memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu global, tapi juga
menyimpan potensi besar jika digunakan dengan strategi yang benar.
Langkah paling realistis adalah memperlakukan perang ini
sebagai momen untuk edukasi, bukan hanya spekulasi. Investor perlu memperdalam
wawasan tentang bagaimana hubungan geopolitik, kebijakan bank sentral, dan
sentimen global bekerja secara simultan dalam membentuk harga aset digital.
Lebih penting lagi, investor perlu paham bahwa kripto bukan
hanya soal harga naik-turun, tapi juga tentang paradigma baru sistem
keuangan—yang tetap akan terus berkembang, konflik atau tidak.